Biodiversity@ITS Seri II: Kupu-kupu dan Capung, sebuah pengantar

Keanekaragaman Hayati atau Biodiversity merupakan salah satu tolok ukur kesehatan suatu ekosistem di suatu tempat. Sangat tepat kalau program Ecocampus di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengangkatnya menjadi salah satu rencana aksi, karena ITS ingin menciptakan sebuah lingkungan kampus dimana komunitas-sivitas akademika ITS adalah individu-individu yang melindungi keanekeragaman hayati yang hidup di lingkungan kampus ITS.

“Tak kenal maka tak sayang” begitu kata pepatah. Untuk menciptakan budaya perilaku menyanyangi flora dan fauna yang hidup di ITS, maka sivitas akademika ITS perlu mengenal mereka lebih dalam, kharakteristik mereka, cara mereka hidup dan sebagainya. Hal ini nantinya juga menjadi tauladan bagi masyarakat di sekitar lingkungan kampus ITS pula.Kampus ITS yang dulunya berupa rawa-rawa, saat ini dikenal sebagai kampus hijau dengan pepohonan yang tinggi dan lebat serta taman dan ruang terbuka yang luas. Kombinasi tersebut tidak hanya menjadikan kampus ITS menjadi semakin nyaman bagi manusia yang beraktivitas di dalamnya, tetapi juga bagi burung-burung liar dan segala fauna yang hidup dan berkembang biak di dalamnya.

 

Biodiversity@ITS: Living in Biodiversity, Living in Harmony

Triyogi Yuwono / Rektor ITS

 

Download buku Biodiversity@ITS Seri II: Kupu-kupu dan Capung. pdf

Mating Chain Aplysia oculifera

Akhir Oktober 2012 lalu, terjadi pemandangan yang berbeda di area subtidal pantai berbatu Balekambang, dimana di permukaan batuan yang terendam tampak struktur seperti pita berwarna putih tersusun spiral. Sepintas, mungkin pengunjung pantai tidak akan menduga bahwa benda tersebut adalah massa telur Opisthobranchia.

Gambar

Opisthobranchia sendiri merupakan salah satu subkelas dari Gastropoda dengan semua anggotanya hidup di laut, bertubuh lunak dan biasanya tanpa cangkang. Terdiri atas 5 bangsa: Anaspidea, Sacoglossa, Cephalaspidea, Notaspidea dan Nudibranchia. Salah satu Opisthobranchia yang umum dijumpai di Balekambang adalah Aplysia oculifera (kelinci laut bangsa Anaspidea, famili Aplysiidae).

 

 

 

 

 

Aplysia oculifera ini makanannya berupa makroalga seperti Enteromorpha intestinalis dan Ulva lactuca; mungkin hal ini yang menyebabkan melimpahnya si Aplysia di Bakekambang, mengingat bahwa jenis pakan-nya terdapat dalam jumlah yang melimpah.

Nah, massa telur yang melimpah tadi tampaknya merupakan telur dari si Aplysia; dan sepertinya akhir Oktober kemarin merupakan musim kawin-nya. Saat di lapangan, secara visual kami mencatat bahwa dalam luasan 50 m2 dapat ditemukan tidak kurang dari 35 individu Aplysia; suatu catatan yang bisa dianggap luar biasa karena umumnya Opisthobranchia ditemukan dalam jumlah yang relatif sedikit pada satu area yang cukup luas.

Saat musim kawin, Aplysia biasanya ditemukan bergerombol di satu lokasi, terkait dengan perilaku kawin (mating behavior)nya. Sebagimana siput laut lainnya, Aplysia juga termasuk hermaphrodite dan saat kawin dapat menjadi jantan atau betina secara simultan. Saat kawin, individu yang “sedang menjadi jantan” akan naik ke bagian belakang individu “betina” dan menyusupkan kepalanya ke lipatan parapodia di punggung betina (note: penis terdapat di bagian kanan kepala sedangkan “vagina” di rongga mantel di bawah lipatan parapodia).

Nah, biasanya –dengan alasan meningkatkan keberhasilan reproduksi- akan ada individu ke-3 yang ikut campur. Si individu ke-3 ini juga akan menyusupkan kepala dan memasukkan penisnya ke vagina individu yang sedang menjadi jantan tadi, semacam threesome gitu-lah. Jadinya, saat mating bisa saja satu individu menjadi jantan dan betina pada saat yang bersamaan, hanya saja masing-masing individu tidak dapat membuahi telurnya sendiri. Yang menarik, saat kawin bisa jadi tidak hanya tiga individu yang terlibat; bisa 4, 5, 6, atau banyak sekali, sehingga membentuk suatu rantai kawin (mating chain). Alasan tersebut pula yang tampaknya menyebabkan kenapa bisa ditemukan banyak individu kelinci laut pada satu area sempit.

 

 

Well, dunia memang penuh dengan hal-hal menakjubkan, seperti mating chain-nya si Aplysia. Tapi jangan sampai Anda meniru perilakunya lho ya..

Biodiversitas ITS, satu langkah menuju ITS EcoCampus

Gambar

Bertepatan dengan acara Dies Natalis ke-51, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengusung tema EcoCampus – Think.Green Action.Sustain yang mengimplementasikan proyek ‘hijau’ di lingkungan kampus dan komunitas sekitar. Misi dari ITS EcoCampus ini adalah peningkatan kesadaran lingkungan untuk seluruh civitas akademika melalui berbagai program yang berkesinambungan seperti efisiensi penggunaan listrik, air, kertas, kebersihan lingkungan, penggunaan ruang terbuka hijau, efisiensi pengelolaan sampah & limbah, kesadaran penggunaan kendaraan ramah lingkungan dan safety riding.

Selanjutnya, sebagai bentuk partisipasi aktif komunitas Intertide dalam mensukseskan agenda EcoCampus tersebut; anggota Intertide berupaya menyusun suatu database keanekaragaman hayati (biodiversitas) flora dan fauna di seputaran kampus ITS. Hasilnya, selama periode November 2011 – Mei 2012, terdata sedikitnya 70 spesies burung (Avifauna), 90 spesies kupu-kupu (Lepidoptera), 24 spesies Odonata (capung), 10 spesies ikan (Pisces), 6 spesies Amphibia, 15 spesies Reptil, 10 spesies Mollusca dan 8 spesies Mamalia liar. Untuk kelompok flora, baik liar maupun artifisial, kami telah mendata sedikitnya 71 spesies pohon, 15 spesies palem dan pakis serta 132 spesies tanaman hias lain.

Ke depan, database tersebut akan di-publish dalam web resmi ITS EcoCampus serta dicetak dalam seri buku Biodiversitas ITS. Koleksi foto flora-fauna ITS dapat diakses pada page “Gallery” pada web ini. (fkm-iecits)

Bintang laut mahkota duri (Acanthaster planci) di Pasir Putih, menuju outbreak?

Masih sebagai “oleh-oleh” kami (saya, Aster dan Memed) dari Pasir Putih (Pasput) Situbondo, kali ini saya ingin sedikit membagi informasi tentang kondisi terumbu karang di Pasput.

Tiga tahun lalu (2008), setelah sempat “di sapu bersih” oleh kalangan penyelam dari gugusan terumbu karang Pasput, tampaknya populasi A. planci mulai meningkat lagi. Setelah sempat sulit dijumpai, saat ini A. planci kembali relatif mudah ditemukan, meskipun dalam kelimpahan yang rendah (<20 individu/ha) dan masih dibawah ambang batas untuk dapat dikatakan terjadi ledakan populasi (outbreak).

Meskipun demikian, saya kira tidak salah kalau mulai saat ini kami perlu melakukan pemantauan berkala tentang populasi, behavior dan ekologi bintang laut ini, dengan harapan dapat menentukan langkah yang sekiranya tepat untuk mencegah atau bahkan menanggulangi bila memang terjadi outbreak.

Sesuai dengan beberapa literatur, A. planci di Pasput umumnya dijumpai berada dekat koloni karang Pocilloporidae atau Acroporidae, kadang-kadang saja kami temukan hewan ini disekitar kacang Poritidae (ataupun bila ada, dekat Pocilloporidae bercabang). A. planci merupakan pemangsa karang yang rakus; hewan ini memakan karang dengan cara menempelkan perutnya (yang mengandung banyak enzim pencernaan) pada permukaan polip karang. Enzim-enzim tersebut akan membuat jaringan karang menjadi lembek seperti bubur. Saat perutnya ditarik kembali, bubur  polip akan ikut tersedot dan hanya menyisakan kerangka kapur yang tetap utuh. Selanjutnya, kerangka karang akan mudah ditempeli oleh larva atau spora biota lain, termasuk sponge, ascidia dan sebagainya.

Kasus-kasus kerusakan terumbu karang akibat outbreak A. planci sudah banyak dilaporkan, misalnya di Great Barrier Reef Australia dan Guam. Kerusakan dapat mencapai 50% – 90%; dan tentu saja kami tidak berharap hal yang sama akan terjadi di terumbu karang Pasput, mengingat bahwa Pasput dapat dikatakan merupakan salah satu gugus terumbu dengan kondisi “sedang-baik”    yang masih tersisa di pesisir utara Jawa Timur. (fm/iecits).

Reticulidia fungia – New recorded Nudibranch species from Pasir Putih

“Iseng-iseng berhadiah” mungkin ungkapan yang pas saat saya dan Ahmad “Memed” Yanuar coba-coba nyelam di salah satu dive spot baru di Pasir Putih Situbondo, tepatnya di Takat Palapa Kecil. Saya sebut dive spot baru karena lokasi ini memang belum banyak didatangi penyelam. Kondisi terumbu karang juga cukup bagus, hanya saja visibility agak rendah. Spons dan soft coral melimpah, mungkin itu juga yang jadi alasan kenapa di lokasi ini Nudibranch-nya banyak; sekali turun bisa ketemu 4 – 7 spesies dengan frekuensi perjumpaan yang lumayan.

Kembali ke istilah “new recorded species”, baru kali ini saya menemukan seekor nudibranch jenis Reticulidia fungia (famili Phyllididae) di kawasan sekitar Situbondo -Probolinggo. Entah karena baru sekali ke takat itu atau karena memang jenis ini agak jarang jadi baru ketemu? saya ndak tau persis jawabnya.. hehehehe…

 

Sebaran R. fungia mencakup perairan Pasifik tengah hingga barat (termasuk Fiji hingga Mikronesia), Australia timur hingga Taiwan. Tercatat juga ditemukan di Bali dan kepulauan Christmas. Spesies ini punya ridge di bagian dorsal, dimana bagian dasar ridge relatif lebar dan bertepi putih. Tepi mantel berwarna biru keabu-abuan.

Overall, bentuk dan pola warna spesies satu ini cukup unik dan menarik; dan semoga di lain kesempatan saya atau Anda bisa ketemu sama si mungil yang cantik ini. (fm/iecits).

Nudibranchia di Kawasan Terumbu Karang Pasir Putih dan Sekitarnya (updated list)

Dengan niatan untuk memenuhi janji tiga tahun lalu tentang diversitas Nudibranchia di Pasir Putih Situbondo; akhirnya sekarang sempat juga untuk bikin list terbaru tentang Nudibranch dan kerabatnya (Ophistobranchia) dilokasi tersebut.

Sampai saat pengamatan terakhir (Juli 2011), setidaknya ada 31 spesies Nudibranch dari famili Chromodorididae, Phyllididae, Dorididae, Kentrodorididae, Platydorididae, Discodorididae, Arminidae dan Zephyrinidae. Ophistobranchia lain yang ditemukan ada 2 spesies Sacoglossa (famili Elysiidae) dan masing-masing 1 spesies dari ordo Cephalaspidea (famili Aplysiidae) dan Anaspidea (famili Aglajidae). List spesies adalah sebagai berikut;

STB: Situbondo; PRB: Probolinggo

Anggota famili Chromodorididae dan Phyllididae menjadi kelompok yang paling sering ditemukan; mulai dari zona intertidal (pasang surut) hingga kedalaman 25 meter. Foto-foto koleksi Nudibranch yang ditemukan di Pasir Putih dan sekitarnya dapat dilihat pada page “Gallery”.

 

fm/iecits

Capung (subordo Anisoptera) di Kampus ITS

Biarpun istilah “intertide” mengacu pada zona pasang-surut di kawasan pantai, menurut kami bukan berarti bahwa tulisan dalam blog ini harus melulu bertemakan pesisir dan laut. Anggap saja tulisan ini sebagai bentuk aksi kami untuk meng-explore ekologi kampus ITS. Toh, kampus  ITS sendiri bisa dikatakan berada di lingkungan pesisir timur Surabaya.

Bangsa capung-capungan (Odonata) dibedakan atas dua subordo yaitu Anisoptera dan Zygoptera. Anisoptera mencakup capung biasa sedangkan Zygoptera mencakup jenis-jenis capung jarum.

Sebagaimana di lokasi-lokasi lain, capung di ITS selalu ditemukan tidak jauh dari badan perairan. Dalam siklus hidupnya, capung memerlukan air sebagai habitat bagi larva (nimfa)nya. Terdapat sedikitnya 13 jenis Anisoptera di ITS, 12 jenis masuk famili Libellulidae sedangkan 1 jenis termasuk famili Aeshnidae.

A. Famili Libellulidae

1. Brachydiplax chalibea

Panjang abdomen 21-25 mm dan panjang sayap 26-30 mm. Umumnya menyukai kolam dan rawa sebagai tempat berbiak. Tubuh jantan berwarna biru keputih-putihan, ujung abdomen berwarna kehitaman. Jenis ini termasuk pemalu dan sukar didekati.

(lokasi: hutan kampus ITS)

2. Brachythemis contaminata

Tubuh agak pendek (abdomen 18-21 mm, sayap 20-25 mm), sayap transparan dan bening kecoklatan. Jenis ini tidak pernah terlihat jauh dari badan perairan. Biasanya terbang hanya sebentar, suka berlama-lama hinggap pada ranting atau rerumputan yang menjulur diatas permukaan air.

(individu jantan, lokasi: hutan kampus ITS)

3. Crocothemis servilia

Individu jantan berwarna merah cerah sedangkan betina berwarna lebih pucat. Panjang abdomen jantan 24-35 mm dan sayap 27-38 mm. Pada betina, panjang abdomen 25-32 mm dan sayap 31-37 mm.

(individu jantan, lokasi: hutan kampus ITS)

(individu betina, lokasi: hutan kampus ITS)

4. Orthetrum sabina

Termasuk jenis capung predator yang rakus memangsa kutu, ngengat atau bahkan capung jenis lain. Tubuh berwarna hijau kekuningan berbelang hitam. Abdomen ramping dan membulat. Panjang abdomen 30-36 mm dan panjang sayap 30-36 mm.

(lokasi: hutan kampus ITS)

5. Pantala flavescens

Secara umum mirip dengan C. servilia betina namun dengan sayap belakang yang jauh lebih lebar. Pangkal sayap belakang berlekuk, tanda warna pada pangkal sayap belakang tidak terlalu jelas. Panjang abdomen 29-35 mm dan panjang sayap 28-41 mm.

(lokasi: dekat gedung Biologi ITS)

6. Tholymis tillarga

Capung jantan mudah dikenali berkat bagian sayap belakang yang berwarna-warni bila tertimpa sinar matahari. Gaya terbang capung ini mirip dengan Zyxomma obtusum. Capung jenis ini lebih sering dijumpai terbang diatas badan perairan. Jenis ini mudah dijumpai namun dengan kelimpahan yang relatif rendah.

(foto spesimen awetan)

7. Zyxomma obtusum

Capung jenis ini bersifat nokturnal, biasanya dijumpai hanya saat dini hari atau selepas matahari terbenam. Tubuh berwarna putih seperti kapur tulis dengan ujung sayap berwarna kecoklatan. Terbang sangat cepat diatas permukaan air sehingga sukar diamati.

(www.asiadragonfly.net)

8. Rhyothemis phyllis

Merupakan jenis capung yang berwarna menarik, dengan bagian pangkal sayap belakang yang bercorak kuning-hitam. Termasuk jenis yang agak jarang dijumpai, biasanya terdapat disekitar badan perairan yang lebar dan tenang.

(lokasi: dekat gedung Biologi ITS)

9. Raphismia bispina

Individu betina berwarna dasar hijau kusam, jantan mirip B. chalybea. Termasuk jenis capung yang jarang dijumpai.

(lokasi: kampus ITS)

10. Neurothemis tullia

Ukuran lebih kecil daripada B. contaminata. Bagian pangkal sayap berwarna hitam metalik.

(lokasi: hutan kampus ITS)

11. Diplacodes trivialis

Capung berukuran kecil (abdomen <25 mm), terdapat sexual dimorphism pada individu jantan dan betina. Capung jantan memiliki warna dasar biru sedangkan individu betina memiliki warna dasar hijau. Umum dijumpai disekitar kampus ITS.

(individu jantan, lokasi: hutan kampus ITS)

12. Unknown species (kemungkinan Cratilla sp)

Termasuk jenis capung berukuran kecil. Sayap transparan dengan bagian ujung berwarna hitam. Mulai dari thorax hingga abdomen terdapat garis kuning lebar memanjang.

(foto spesimen awetan)

B. Famili Aeshnidae

Di kawasan kampus ITS hanya terdapat satu jenis capung dari famili ini yaitu Anax guttatus. Merupakan jenis capung nokturnal berukuran besar (abdomen >50 mm). Waktu aktifnya serupa dengan Zyxomma obtusum. Bagian thorax berwarna hijau lembut, abdomen segmen ke-2 hingga ke-4 berwarna biru cerah. Termasuk jenis capung yang jarang teramati.

(www.asiadragonfly.net)

 

KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN BANGKA, PROVINSI BANGKA BELITUNG

Pada akhir September 2010, salah seorang anggota komunitas Intertide berkesempatan untuk mengikuti kegiatan “PELAYARAN KEBANGSAAN ILMUWAN MUDA” Bach II  Group Biologi yang diselenggarakan oleh Ditjen Dikti dan Puslit Oseanografi. Lokasi pelayaran di perairan sekitar pulau Bangka dan Belitung. Pada saat pelayaran bergabung dengan kelompok CORAL yang objek studinya adalah terumbu karang.

Penelitian dilakukan selama empat hari yaitu tanggal 29 September 2010 sampai 2 September 2010.  Penelitian dilakukan di perairan Kabupaten Bangka Barat (pulau Penyusur), Bangka Tengah (pulau Ketawai dan Pasir), dan Bangka Selatan (pulau Kelapan, Seniur, Lepar, Liat, dan Celaka); provinsi Kepulauan Bangka Belitung.  Lokasi dan koordinat stasiun pengamatan (GPS) selama penelitian disajikan pada Tabel 1 dan gambar 1.

Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan metode LIT (Line Intercept Transect) (English et al., 1997) sepanjang 10 meter dengan 3 kali replikasi pada setiap stasiun pengamatan (Anonim, 2006). Spesifikasi karang yang dicatat adalah bentuk pertumbuhan karang (lifeform).  Semua kategori bentuk pertumbuhan karang dan substrat yang berada tepat di bawah garis transek dicatat dan dihitung panjangnya.

Tabel 1. Lokasi Pengamatan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Sekitar Pulau Bangka

No.

Lokasi

Posisi geografis

Latitude (S)

Longitude (E)

1

Timur P. Penyusur

01031’42.30”

105041’26.90”

2

Barat P. Penyusur

01031’40.70”

105041’15.80”

3

Timur P. Ketawai

02016’22.40”

106020’09.10”

4

Utara P. Ketawai

02015’26.40”

106020’03.10”

5

Barat P. Pasir

02014’53.50”

106022’25.30”

6

Timur P. Kelapan

02051’20.30”

106051’25.30”

7

Utara P. Seniur

02049’52.40”

106048’82.20”

8

Utara P. Lepar

02052’49.00”

106049’33.00”

9

Barat P. Liat (Pongok)

02053’37.80”

107001’47.00”

10

Barat P. Celaka (Celagen)

02052’28.70”

107000’35.60”

Persentase tutupan untuk masing-masing kategori lifeform karang dapat dicari dengan persamaan berikut;

Persentase tutupan untuk seluruh kategori lifeform karang hidup dapat dicari dengan persamaan berikut;

Nilai tutupan karang tersebut selanjutnya dianalisis berdasarkan kategori tutupan karang yang mengacu pada Gomez dan Yap (1988) sebagai berikut:

(a)        0.0% – 24.9%                : buruk

(b)        25% – 49.9%                 : sedang

(c)        50% – 74.9%                 : baik

(d)        75% – 100%                  : sangat baik

(Gomez dan Yap 1988)

Kondisi umum tutupan karang

Secara umum, persentase tutupan karang hidup di perairan sekitar pulau Bangka berkisar antara 40% – 76.1%, dimana perairan di timur dan selatan memiliki persentase tutupan karang hidup yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perairan utara pulau.

Nilai persentase tutupan tertinggi diperoleh pada stasiun 4 (utara pulau Ketawai, 76.1%), 9 (barat pulau Liat, 72.97%) dan 6 (timur pulau Kelapan, 70.2%); sedangkan penutupan terendah terdapat di stasiun 1 (timur pulau Penyusur, 40%), 2 (barat pulau Penyusur, 48%) dan 3 (timur pulau Ketawai, 45.07%).  Detail persentase tutupan karang di semua lokasi pengamatan disajikan pada Gambar 2.

Deskripsi kondisi terumbu karang lokasi penelitian

a.        Perairan utara Bangka Barat

Lokasi 1 dan 2 yang berada disekitar P. Penyusur merupakan perwakilan dari sisi utara perairan Bangka Barat. Terumbu karang pada lokasi tersebut terutama terdapat pada kedalaman antara 3 – 6 meter dengan kemiringan lereng terumbu sekitar 300. Substrat dasar berupa campuran pasir dan lumpur (silt).  Persentase tutupan karang hidup tergolong “sedang” (40%). Pada lokasi 1, tipe bentuk pertumbuhan dominan adalah coral submassive (15.3%) dan foliose (10.7%). Untuk kategori non-coral, persentase tertinggi dimiliki oleh turf algae (31.76%) dan dead coral with algae (16.13%). Profil rata-rata persentase tutupan tiap kategori lifeform karang di P. Penyusur ditunjukkan oleh Gambar 3.

Bentuk pertumbuhan dominan di lokasi 2 tidak terlalu berbeda dengan lokasi 1. Kategori TA dan DCA masih mendominasi dengan persentase masing-masing sebesar 26.7% dan 16.03%. tipe karang dominan adalah coral massive (15.13%) dan foliose (11.87%).

Rendahnya tutupan karang di lokasi-lokasi tersebut diduga disebabkan oleh sedimentasi yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai visibility (jarak pandang) yang hanya berkisar antara 2 – 3 meter. Pada saat pengamatan, dijumpai banyak karang yang tertutup oleh partikel sedimen halus. Sedimen dan particulate matter yang tersuspensi dalam air laut sangat mungkin disebabkan oleh faktor antropogenik berupa aktivitas kapal isap timah yang banyak beroperasi disekitar Bangka utara. Hal tersebut didukung oleh hasil wawancara dengan nelayan lokal yang menyatakan bahwa kekeruhan perairan lebih disebabkan oleh keberadaan dan aktivitas kapal isap timah. Seperti diketahui, dalam operasinya, kapal isap timah membuang limbah tailing (pencucian pasir timah) secara langsung ke laut tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga meningkatkan kekeruhan perairan.

a.       Perairan timur Bangka Tengah

Pengamatan kondisi terumbu karang di pantai timur Bangka Tengah dilakukan di kawasan terumbu pulau Ketawai dan Pasir. Pertumbuhan terumbu karang di P. Ketawai dimulai pada kedalaman antara 3 – 10 meter dengan kemiringan lereng antara 35 – 450. Substrat dasar perairan berupa campuran pasir dan lumpur.

Pada sisi timur pulau Ketawai (stasiun 3), tutupan karang hidup sebesar 45.07% (kategori sedang) dengan dominasi bentuk pertumbuhan coral foliose (28.9%) dan coral submassive (8.5%). Pada pengamatan di lokasi 4 (sisi utara P. Ketawai) tutupan karang lebih besar yaitu 76.1% (kategori sangat baik) dengan bentuk pertumbuhan dominan adalah coral foliose dan massive, masing-masing dengan persentase sebesar 39.9% dan 9.77%. Profil rata-rata persentase tutupan setiap lifeform karang di pulau Ketawai dan Pasir ditunjukkan pada Gambar 4 berikut.

Perbedaan kondisi karang di kedua stasiun tersebut lebih disebabkan oleh faktor kekeruhan dan sedimentasi, dimana pada stasiun 3 kekeruhan lebih tinggi daripada stasiun 4. Berdasarkan dominansi jenis, karang Echinopora lamellosa, Merulina ampliata dan Pavona decussata merupakan jenis yang umum dijumpai di stasiun 3. Pada stasiun 4, jenis karang dominan adalah M. ampliata, Pachyseris rugosa, Montipora spp dan Lobophyllia spp.

Pada stasiun 5 (barat P. Pasir), terumbu karang terdapat pada kedalaman 3 – 7 meter. Persentase tutupan karang hidup sebesar 54.43% sehingga kondisi karang dapat dikatakan baik. Terdapat perbedaan komposisi bentuk pertumbuhan dan jenis karang dibandingkan dengan dua stasiun sebelumnya, dimana pada stasiun 5 bentuk pertumbuhan coral branching sangat mendominasi (40.1%), dengan jenis utama adalah Porites cylindrica.

a.       Perairan timur Bangka Selatan

Pengamatan kondisi terumbu karang di sisi selatan pulau Bangka dilakukan pada 5 stasiun yaitu sisi timur P. Kelapan, utara P. Seniur, utara P. Lepar, barat P. Liat (Pongok) dan barat P. Celaka (Celagen). Paparan terumbu (reef flat) pada kelima lokasi tersebut ditumbuhi oleh berbagai jenis makroalga terutama Sargassum. Gambar 5 menunjukkan profil tutupan tiap lifeform karang di stasiun 6 – 10.

Pada stasiun 6 (timur P. Kelapan), persentase tutupan karang hidup sebesar 70.2%, bentuk pertumbuhan dominan adalah coral submassive (31%) dengan jenis utama Galaxea fascicularis, diikuti oleh bentuk pertumbuhan coral foliose (21.47%) dengan jenis karang yang umum adalah Pachyseris spp, Montipora sp dan Merulina sp. Stasiun 7 (utara P. Seniur) memiliki persentase tutupan karang yang lebih rendah, hanya sebesar 53.93%. Bentuk pertumbuhan dominan pada lokasi ini adalah coral massive (20.97%) dan coral massive (19%) dengan jenis yang umum dijumpai adalah Platygyra daedalea, Lobophyllia spp, Diploastrea heliopora dan Pavona spp.

Sama halnya di stasiun 7, karang hidup di stasiun 8 (utara P. Lepar) didominasi oleh bentuk pertumbuhan coral massive dan submassive dengan jenis umum antara lain adalah Lobophyllia spp, Favia spp, Favites spp dan Porites spp. Total persentase tutupan karang di lokasi ini sebesar 61.1% sehingga terumbu karang termasuk dalam kategori baik.

Terumbu karang di stasiun 9 (barat P. Liat) dan 10 (barat P. Celaka) memiliki persentase tutupan karang hidup yang relatif baik yaitu 72.7% dan 65.17%. Karang di stasiun 9 didominasi oleh Acropora Branching (35.6%) dan coral massive (20.5%). Jenis karang yang umum dijumpai adalah Acropora formosa, Diploastrea heliopora dan Pachyseris spp. Pada stasiun 10, bentuk pertumbuhan didominasi oleh CF (23.3%) dan coral encrusting (21.37%). Jenis karang yang cukup dominan antara lain adalah Diploastrea heliopora, Pachyseris spp, Turbinaria spp, Merulina sp dan Porites lobata.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu di P. Liat (Pongok), terumbu karang di sisi timur pulau memiliki persentase tutupan karang sebesar 73.4% dengan bentuk pertumbuhan utama adalah coral foliose, Acropora branching dan coral branching. Penelitian yang sama di sisi utara P. Celaka (Celagen) menunjukkan bahwa persentase tutupan karang hanya sebesar 45.76% (Siringoringo et al., 2006) atau lebih kecil 19.41% daripada hasil penelitian ini pada terumbu di sisi barat pulau.

Secara keseluruhan, bentuk pertumbuhan karang yang sangat umum ditemukan di lokasi penelitian adalah coral foliose, submassive dan massive. Bentuk-bentuk pertumbuhan tersebut terutama coral foliose merupakan jenis yang umum dijumpai dan mudah beradaptasi pada kondisi perairan yang keruh dan bersedimentasi (Suharsono, 2007). Bentuk karang yang pipih seperti daun dan melebar seperti payung memungkinkan zooxanthellae dapat menyerap maksimal cahaya matahari untuk proses fotosintesis. Bentuknya yang melebar seperti payung juga dapat menyebabkan karang ini lebih mudah berkompetisi dalam mendapatkan cahaya dan makanan jika dibandingkan dengan jenis karang lainnya. Karang-karang jenis sub massive dan massive juga merupakan jenis karang yang mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap kondisi perairan yang agak keruh.

Sorokin (1993) menyebutkan bahwa masing-masing jenis karang mempunyai strategi untuk dapat hidup dalam kondisi fisik lingkungannya yang disebut r-strategi dan k-strategi. Pada lokasi penelitian sebagian besar karang yang ditemukan mempunyai bentuk adaptasi k-strategi, yaitu mempunyai daya kompetisi tinggi dengan harapan hidup yang panjang tetapi kecepatan pertumbuhannya lambat.

Kondisi perairan di sebagian besar lokasi penelitian yang relatif keruh, bersedimentasi tinggi dan berarus lemah diduga juga menjadi penyebab rendahnya persentase tutupan karang di beberapa stasiun pengamatan, terutama stasiun 1, 2 dan 3. Partikel sedimen dapat menghambat pertumbuhan karang secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung partikel sedimen dapat menutup mulut polip karang dan organ penangkap mangsanya (Supriharyono, 2000). Secara tidak langsung, partikel sedimen akan mengurangi penetrasi cahaya matahari kedalam perairan dan menurunkan laju pertumbuhan karang (Supriharyono 1986 dalam Supriharyono, 2000). Seperti diketahui, cahaya terutama sangat berpengaruh bagi karang hermatipik (karang pembentuk terumbu), karena karang tipe ini memiliki endosimbion alga zooxanthellae yang memerlukan cahaya matahari untuk melangsungkan proses fotosintesis (Supriharyono, 2000). Tanpa pencahayaan yang cukup, laju rata-rata fotosintesis akan menurun, dan akan mengurangi kemampuan karang untuk mensekresikan kalsium karbonat dalam pembentukan terumbu.

Karang jenis Acropora spp relatif jarang dijumpai pada penelitian ini, disebabkan karena kondisi perairan yang relatif keruh dan memiliki tingkat sedimentasi yang tinggi. Jenis-jenis karang batu dari marga Acropora mempunyai polip yang kecil dan sulit untuk membersihkan diri, sehingga untuk membersihkan dirinya dari partikel-partikel yang melekat, jenis ini membutuhkan arus dan ombak yang cukup kuat (Manuputty, 1990). Koloni karang bercabang yang cukup luas hanya dijumpai di stasiun 9 (barat P. Liat). Hal tersebut mungkin disebabkan karena pada stasiun 9 arus laut cukup kuat sehingga dapat membantu polip karang untuk membersihkan partikel sedimen yang menempel.

Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa pada stasiun-stasiun dengan nilai persentase tutupan karang hidup yang rendah, terutama stasiun 1, 2 dan 3, memiliki persentase tutupan turf algae (TA) yang tinggi (>20%). Keberadaan turf algae dapat menyebabkan terjadinya kompetisi perebutan ruang dan cahaya antara polip karang dengan algae yang dapat menghambat pertumbuhan karang (Connel et al. 2004; Victor 2005), mempengaruhi diversitas karang (Connel et al., 2004) bahkan menyebabkan kematian karang (Jompa dan McCook 2002; Mohammed dan Mohamed 2005).

Filamen-filamen algae yang menutupi polip dapat menyebabkan berkurangnya cahaya yang dapat diterima oleh zooxanthellae (Young dan Avalos, 2006) didalam endoderm polip sehingga mengganggu proses fotosintesis. Zooxanthellae menyuplai sekitar 95% produk fotosintesisnya (berupa asam amino, gula, karbohidrat, dan peptida-peptida pendek) kepada polip inang yang menggunakan nutrisi tersebut untuk respirasi, pertumbuhan, dan penimbunan CaCO3 (Lesser, 2004). Apabila proses fotosintesis terganggu, maka suplai nutrisi untuk karang akan berkurang sehingga menurunkan kemampuan karang untuk tumbuh dan membentuk deposit CaCO3.

Referensi

Anonim. 2006. Manual Monitoring Kesehatan Karang (Reef Health Monitoring). CRITC – COREMAP – LIPI. Jakarta.

Buddemeier, R.W., J.A. Kleypas and R.B. Aronson. 2004. Coral Reefs and Global Climate Change: Potential Contributions of Climate Change to Stresses on Coral Reef Ecosystems. Pew Center on Global Climate Change.

Burke, L., E. Selig, and M. Spalding. 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute.

Connell, J.H., T.P. Hughes, C.N. Wallace, J.E. Tanner, K.E. Harms, and A.M. Kerr. 2004. A Long-Term Study of Competition and Diversity of Corals. Ecological Monographs 72 (4). 179 – 210.

English, S., C. Wilkinson and V. Baker (ed.). 1994. Survei Manual for Tropical Marine Research. ASEAN-Australia Marine Science Project. Australian Institute of Marine Science. Townsville.

Jompa, J. and L.J. McCook. 2002. The Effects of Nutrients and Herbivory on Competition Between A Hard Coral (Porites cylindrica) and A Brown Algae (Lobophora variegata). Limnology and Oceanography 47 (2). 527 – 534.

Kunzmann, A. 2002. On The Way to Management of West Sumatra’s Coastal Ecosystems. Naga, The ICLARM Quarterly 25 (1). 4 – 10.

Lesser, M.P. 2004. Experimental Biology of Coral Reef Ecosystems. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 300. 217 – 252.

Manuputty, A.E.W. 1990. Sebaran, Keanekaragaman dan Komposisi Jenis Karang Batu di Perairan Kabil. Dalam: Perairan Pulau Batam, pp. 27-36.

Medrizam, S. Pratiwi, dan Wardiyono. 2004. Wilayah Kritis Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Instrumen Penilaian dan Pemindaian Indikatif/Cepat bagi Pengambil Keputusan. Sebuah Studi Kasus Ekosistem Pesisir Laut. Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Direktorat Pengendalian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, BAPPENAS. Jakarta.

Mohammed, T.A.A.A. and M.A.W. Mohamed. 2005. Some Ecological Factors Affecting Coral Reef Assemblages Off Hurghada, Red Sea, Egypt. Egyptian Journal of Aquatic Research 31 (1). 133 – 152.

Siringoringo, R.M., Giyanto, A. Budiyanto dan H. Sugiarto. 2006. Komposisi dan Persentase Tutupan Karang Batu Di Perairan Lepar-Pongok, Bangka Selatan. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. No. 41: 71 – 84.

Sorokin YI. 1993. Coral Reef Ecology. Springer-Verlag. New York.

Suharsono. 2007. Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia: Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Ilmu Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 112 hal.

Suharsono. 2008. Jenis-jenis Karang di Indonesia. LIPI Press. Jakarta.

Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Victor, S. 2005. Effects of Sedimentation on Palau’s Coral Reefs. International Coral Reef Initiative (ICRI) GM Japan/Palau (1) 2005/11.1/1.

Young, L.I.Q. and J.E. Avalos. 2006. Reduction of Zooxanthellae Density, Chlorophyll a Concentration, and Tissue Thickness of The Coral Montastrea faveolata (Scleractinia) When Competing With Mixed Turf Algae. Limnology and Oceanography 51 (2). 1159 – 1166.

Kontributor:

Farid K. Muzaki – Institut Teknologi Sepuluh Nopember – Surabaya

Fachril Muhajir – Universitas Hasanuddin – Makassar

Galdi Ariyanto – Universitas Diponegoro – Semarang

Ratih Rimayanti – Universitas Indonesia – Jakarta

 

Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pasir Putih Situbondo

Setelah lama hanya menjadi “kabar angin”, akhirnya ada bukti yang menunjukkan bahwa memang benar-benar ada penyu hijau di Pasir Putih Situbondo.
Kamis, 22 April 2009 menjadi hari yang bersejarah buat Imbariri “Curly” Raraswati yang iseng nyelam malam buat cari nudribranch ternyata malah ketemu penyu.. seperti yang terlihat pada foto, Riri bahkan sempat main petak umpet sama sang penyu.
Seperti diketahui, penyu hijau termasuk salah satu reptil laut yang dilindungi oleh perundang-undangan Indonesia melalui PP. No. 7 Th. 1999, so… mari kita jaga kelestariannya..

Penelitian Echinodermata di Pantai Pasir Putih Situbondo

Tanggal  22 – 28 Mei 2008 yang lalu adalah waktu pengambilan data TA saya di Situbondo, Jawa Timur. Kamis, 22 Mei 2008, Saya dan kawan – kawan (Euis, Mas Kamal, Ikachu dan Riri) berangkat menuju Situbondo. Mas Kamal menggunakan motor dari Surabaya, sedangkan saya dan lainnya menggunakan bis. Menuju ke terminal Bungur Asih kami diantar menggunakan mobil bersama Ayah dan Ibunya Riri. Perjalanan Surabaya – Situbondo kira – kira memakan waktu 5 – 6 jam. Dari Bungur Asih, kami berangkat kira – kira pukul 10 malam lebih. Di  perjalanan, kami pindah bis di Probolinggo. Pada akhirnya kami tiba di Pasir Putih Situbondo kira – kira pada pukul 2 pagi. Kami tinggal di rumah yang dijaga oleh pak Wafi. Selanjutnya adalah istirahat untuk pengambilan data di keesokan harinya. Di keesokan harinya (Jumat, 23 Mei 2008) kami mulai melakukan pengambilan data. Untuk pengambilan data ini, saya khususkan pada pengambilan data dari Tugas Akhir saya saja.

 

Tugas Akhir saya berkenaan tentang populasi Diadema setosum dan tutupan terumbu karang. Dari kedua hal tersebut saya mencoba melihat ada tidaknya kaitan antara keduanya. Dari beberapa penelitian diketahui bahwa Diadema merupakan spesies kunci di terumbu karang. Diadema merupakan grazer (herbivora) terhadap makroalga yang berada di terumbu  karang (Ogden dan Carpenter, 1986; Weil et al., 2002). Keberadaan makroalga merupakan kompeti tor terhadap keberadaan karang, terutama kompetisi ruang. Keberadaan Diadema menjadi stabilisator terhadap keberlangsungan ekosistem terumbu karang. Namun demikian, selain sebagai grazer, Diadema juga merupakan bioeroder, organisme yang menyebabkan bioerosi di terumbu karang. Aktivitas grazer Diadema juga ikut memakan substrat.

 

Pengambilan data densitas Diadema setosum menggunakan metode plot dengan panjang 70 meter dan lebar 2 meter. Ini mengikuti metode yang digunakan oleh COREMAP dalam buku Manual RHM (Reef Healty Monitoring). Kemudian untuk tutupan karang menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect) mengikuti garis tengah dari plot penghitungan densitas Diadema setosum. Pengukuran densitas Diadema dan tutupan dilakukan pada dua kedalaman yang berbeda, yaitu antara 0 – 5 meter dan 5 – 10 meter. Dalam hal ini 0 – 5 meter mewakili perairan dangkal, sedangkan 5 – 10 meter mewakili perairan dalam.

 

Pada awalnya, pengambilan data hendak saya mulai di kawasan Teluk Pelita di kedalaman antara 0 – 5 meter. Pada kedalaman ini, terutama mendekati darat, dapat ditemui populasi Diadema setosum dengan jumlah yang melimpah. Saya mencoba melakukan transek di tempat tersebut. Saat itu saya dibantu Ika untuk membuat transek. Namun karena suatu alasan, transek yang telah dibuat gagal. Saya memutuskan untuk tidak meneruskan.

 

Pengambilan data kemudian dilanjutkan di siang menuju sore hari tetap di kawasan Teluk Pelita, namun pada kedalaman lebih dari 5 meter (5 – 10 meter). Kali ini saya dibantu Mas Kamal. Di sini, saya menyadari bahwa saya menemui kendala dalam menyelam karena beberapa kali mencoba menyelam ke dasar seringkali gagal sehingga di kesempatan – kesempatan penyelaman berikutnya diberi sabuk beban yang lebih berat (6 kg).

 

Pengambilan data kemudian dilakukan harinya (24 Mei 2008). Pengambilan data masih di kawasan Teluk Pelita, namun pada kedalaman yang berbeda yaitu kurang dari 5 meter. Pengambilan dilakukan di pagi hari. Di kedalaman ini, Diadema setosum lebiih melimpah dibandingkan dengan kedalaman lebih dari 5 meter. Di siang menjelang sore hari, dilakukan kembali transek di kawasan terumbu Batu Lawang. Kawasan ini dinamai Batu Lawang karena adanya karang masif yang lumayan besar yang menandai daerah tersebut. Di kawasan Batu Lawang dilakukan transek di kedalaman lebih dari 5 meter. Transek yang digunakan di sini sama dengan transek milik Riri, hanya saja berbeda panjang transek. Di kedalaman ini saya kembali mengalami naik turun ke dasar. Hal ini tentunya berdampak. Selain mengalami kuping yang agak nyeri oleh kedalaman, saya juga mengalami kepala agak pusing. Saya memutuskan untuk kembali ke perahu. Setelah di atas perahu saya menyadari bahwa hidung saya berdarah. Pengalaman mimisan pertama kali dan hal itu terjadi di air. Untuk pengambilan data dilanjutkan oleh Mas Kamal. Untuk kawasan ini ditemui kepadatan Diadema hingga 400 individu lebih pad luasan 140 m2.

 

Hari Minggu (25 Mei 2008) dilakukan lagi pengambilan data di kawasan Batu Lawang pada kedalaman kurang dari 5 meter. Pengambilan data dilakukan di pagi hari. Di kawasan ini lebih banyak ditemui ditemui Diadema. Dua kali lebih banyak dibandingkan pada kedalaman lebih dari 5 meter. Di sore harinya, pengambilan data dilakukan di kawasan Terumbu Karang Mayit kedalaman lebih dari 5 meter. Transek yang digunakan masih sama dengan transek milik Riri. Di kedalaman ini pula, hidung saya kembali berdarah. Tapi ini tidak lagi menjadi kekhawatiran setelah mengetahui hal itu adalah hal yang umum yang dialami oleh penyelam. Di kawasan ini, didapati sedikit Diadema. Dalam luasan 140 meter2 hanya didapati Diadema kurang dari 10 individu.

 

Hari Senin (26 Mei 2008) dilakukan pengambilan data terakhir di kawasan terumbu Karang Mayit pada kedalaman kurang dari 5 meter. Untuk di kawasan ini, didapati lebih sedikit lagi Diadema (2 individu).

 

Dari keseluruhan lokasi transek, diketahui densitas Diadema terbesar ada pada kawasan Batu Lawang di kedalaman kurang dari 5 meter dan densitas terkecil di kawasan Karang Mayit kurang dari 5 meter. Secara visual kondisi karang yang masih baik berada di kawasan Karang Mayit. Sedangkan kondisi yang kurang baik didapati di kawasan Batu Lawang. Kami akhirnya pulang di hari Rabu pagi (28 Mei 2008) dan sampai di Surabaya pada pukul 3 siang.

 

Pada pengambilan data ini saya hendak berterima kasih kepada beberapa pihak. Pengambilan data banyak sekali dibantu oleh Mas Kamal (RM Farid Kamal Muzaki, S.Si.). Tidak lupa kepada Pak Budi, Pak Harno, Pak Sei, Cak Mat, Mas Ar dan juga teman – teman TA di Situbondo, yaitu Euis, Ika dan Riri serta pihak – pihak lainnya. (not/iecits)

 

Salam Lestari,

Arnold Victoryus

Biologi ITS